BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kehamilan yang berhubungan dengan
kematian maternal secara langsung di Amerika Serikat diperkirakan 7 – 10 wanita
tiap 100.000 kelahiran hidup. Data statistik nasional Amerika Serikat
menyebutkan sekitar 8% dari kematian ini disebabkan oleh perdarahan post
partum. Di negara industri, perdarahan post partum biasanya terdapat pada 3
peringkat teratas penyebab kematian maternal, bersaing dengan embolisme dan
hipertensi. Di beberapa negara berkembang angka kematian maternal melebihi 1000
wanita tiap 100.000 kelahiran hidup, dan data WHO menunjukkan bahwa 25% dari
kematian maternal disebabkan oleh perdarahan post partum dan diperkirakan
100.000 kematian matenal tiap tahunnya.
Asuhan bersalin Normal (APN ) diperlukan
dalam periode ini karena merupakan masa kritis ibu maupun bayinya. Diperkirakan
bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan dan 50%
kematian pada masa nifas 24 jam pertama (Saiffudin,dkk;2002).
Mortalitas dan mordibitas pada wanita bersalin adalah masalah besar di negara berkembang. Kematian saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama mortalitas wanita muda pada puncak produktifitasnya. Tahun 1996 WHO memperkirakan lebih dari 585.000 ribu ibu pertahunnya meninggal saat hamil atau bersalin (Saiffudin,dkk,2002). Pada saat ini angka kematian ibu dan angka kematian perinatal masih sangat tinggi. Menurut survey Demografi dan Kesehatan Indonesia ( 2005 ) angka kematian kematian perinatal adalah 307 /10.000 kelahiran hidup.
Mortalitas dan mordibitas pada wanita bersalin adalah masalah besar di negara berkembang. Kematian saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama mortalitas wanita muda pada puncak produktifitasnya. Tahun 1996 WHO memperkirakan lebih dari 585.000 ribu ibu pertahunnya meninggal saat hamil atau bersalin (Saiffudin,dkk,2002). Pada saat ini angka kematian ibu dan angka kematian perinatal masih sangat tinggi. Menurut survey Demografi dan Kesehatan Indonesia ( 2005 ) angka kematian kematian perinatal adalah 307 /10.000 kelahiran hidup.
Di Indonesia, Sebagian besar persalinan terjadi tidak di
rumah sakit, sehingga sering pasien yang bersalin di luar kemudian terjadi
perdarahan post partum terlambat sampai ke rumah sakit, saat datang keadaan
umum/hemodinamiknya sudah memburuk, akibatnya mortalitas tinggi. Menurut Depkes
RI, kematian ibu di Indonesia (2002) adalah 650 ibu tiap 100.000 kelahiran
hidup dan 43% dari angka tersebut disebabkan oleh perdarahan post
partum.
1.2
Tujuan
1.2.1
Mengetahui pengertian perdarahan post partum
1.2.2
Mengetahui etiologi perdarahan post partum
1.2.3
Mengetahui Tanda dan gejala perdarahan post partum
1.2.4
Mengetahui Klasifikasi perdarahan post partum
1.2.5
Mengetahui patofisiologi perdarahan post partum
1.2.6
Mengetahui Komplikasi perdarahan post partum
1.2.7
Mengetahui Pencegahan perdarahan post partum
1.2.8
Mengetahui Definisi Syok Obtetrik
1.2.9
Mengetahui Klasifikasi Syok
1.2.10
Mengetahui etiologi Syok
1.2.11
Mengetahui Penanganan Syok
1.2.12
Mengetahui Penentuan dan penanganan sesuai penyebab
1.3
Rumusan Masalah
1.3.1
Jelaskan definisi perdarahan post partum!
1.3.2
Jelaskan etiologi perdarahan post partum!
1.3.3
Jelaskan tanda dan gejala perdarahan post partum!
1.3.4
Jelaskan klasifikasi perdarahan post partum!
1.3.5
Jelaskan patofisiologi perdarahan post partum!
1.3.6
Jelaskan komplikasi yang terjadi pada perdarahan post partum!
1.3.7
Jelaskan pencegahan pada perdarahan post partum!
1.3.8
Jelaskan Definisi syok Obstetrik !
1.3.9
Jelaskan da sebutkan Klasifikasi Syok !
1.3.10
Sebutkan etiologi Syok!
1.3.11
Jelaskan penanganan Syok!
1.3.12
Jelaskan penentuan dan penanganan syok sesuai penyebab
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Perdarahan postpartum atau
perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan lebih dari 500 – 600 ml selama 24
jam setelah anak lahir. Perdarahan postpartum adalah perdarahan dalam kala IV
lebih dari 500 – 600 cc dalam 24 jam setelah anak dan plasenta lahir.
Haemoragic Post Partum ( HPP ) adalah hilangnya darah lebih dari 500 ml dalam
24 jam pertama setelah lahirnya bayi. Normalnya, perdarahan dari tempat
plasenta terutama dikontrol oleh kontraksi dan retraksi anyaman serat-serat
otot serta agregasi trombosit dan trombus fibrin di dalam pembuluh darah
desidua. Perdarahan postpartum dibagi atas dua bagian yaitu perdarahan postpartum
dini dan lanjut. Perdarahan postpartum dini adalah perdarahan yang berlebihan
selama 24 jam pertama setelah kala tiga persalinan selesai, sedangkan
perdarahan postpartum lanjut adalah perdarahan yang berlebihan selama masa
nifas, termasuk periode 24 jam pertama setelah kala tiga persalinan selesai.
2.2 Etiologi
a. Atonia uteri
b. Laserasi
jalan lahir
c. Retensio
Plasenta
d. Kelainan
proses pembekuan darah.
2.2.1 Atonia Uteri
Atonia uteri terjadi jika uterus tidak berkontraksi dalam 15
detik setelah dilakukan rangsangan taktil (pemijatan) fundus uteri. Perdarahan
postpartum dengan penyebab uteri tidak terlalu banyak dijumpai karena
penerimaan gerakan keluarga berencana makin meningkat (Manuaba & APN).
Penatalaksanaan perdarahan karena atonia uteri
Peranan
bidan dalam menghadapi perdarahan post partum karena atonia uteri
1.
Meningkatkan upaya preventif:
·
Meningkatkan penerimaan gerakan keluarga
berencana sehingga memperkecil jumlah grandemultipara dan memperpanjangjarak
hamil
·
Melakukan konsultasi atau merujuk kehamilan
dengan overdistensi uterus: hidramnion dan kehamilan ganda dugaan janin besar
(makrosomia)
·
Mengurangi peranan pertolongan persalinan oleh
dukun.
2.
Bidan dapat segera melakukan rujukan penderita dengan
didahului tindakan ringan:
·
Memasang infus-memberikan cairan pengganti.
·
Memberikan uterotonika intramuskular, intravena
atau dengan drip.
·
Melakukan masase uterus sehingga kontraksi otot
rahim makin cepat dan makin kuat.
·
Penderita sebaiknya diantar.
·
Sikap bidan menghadapi atonia uteri
(Manuaba, Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan &
KB, hal, 296)
Teknik KBI (
Kompresi Bimanual Internal)
1.
Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau
steril, dengan lembut masukkan tangan (dengan cara menyatukan kelima ujung
jari) ke intraktus dan ke dalam vagina itu.
2.
Periksa vagina & serviks. Jika ada selaput ketuban
atau bekuan darah pada kavum uteri mungkin uterus tidak dapat berkontraksi
secara penuh.
3.
Letakkan kepalan tangan pada fornik anterior tekan
dinding anteror uteri sementara telapak tangan lain pada abdomen, menekan
dengan kuat dinding belakang uterus ke arah kepalan tangan dalam.
Gambar 1. Kompresi bimanual internal
4.
Tekan uterus dengan kedua tangan secara kuat. Kompresi
uterus ini memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah di dalam dinding
uterus dan juga merangsang miometrium untuk berkontraksi.
5.
Evaluasi keberhasilan:
§ Jika
uterus berkontraksi dan perdarahan berkurang, teruskan melakukan KBl selama dua
menit, kemudian perlahan-lahan keluarkan tangan dari dalam vagina. Pantau kondisi
ibu secara melekat selama kala empat.
§ Jika
uterus berkontraksi tapi perdarahan terus berlangsung, periksa perineum, vagina
dari serviks apakah terjadi laserasi di bagian tersebut. Segera lakukan si
penjahitan jika ditemukan laserasi.
§ Jika
kontraksi uterus tidak terjadi dalam waktu 5 menit, ajarkan keluarga untuk
melakukan kompresi bimanual eksternal (KBE, Gambar 5-4) kemudian teruskan
dengan langkah-langkah penatalaksanaan atonia uteri selanjutnya. Minta tolong
keluarga untuk mulai menyiapkan rujukan.
Alasan:
Atonia uteri seringkali bisa diatasi dengan KBl, jika KBl tidak berhasil dalam
waktu 5 menit diperlukan tindakan-tindakan lain.
6.
Berikan 0,2 mg ergometrin IM (jangan berikan ergometrin
kepada ibu dengan hipertensi)
Alasan:
Ergometrin yang diberikan, akan meningkatkan tekanan darah lebih tinggi dari
kondisi normal.
7.
Menggunakan jarum berdiameter besar (ukuran 16 atau
18), pasang infus dan berikan 500 ml larutan Ringer Laktat yang mengandung 20
unit oksitosin.
Alasan:
Jarum dengan diameter besar, memungkinkan pemberian cairan IV secara cepat, dan
dapat langsung digunakan jika ibu membutuhkan transfusi darah. Oksitosin IV
akan dengan cepat merangsang kontraksi uterus. Ringer Laktat akan membantu
mengganti volume cairan yang hiking selama perdarahan.
8.
Pakai sarung tangan steril atau disinfeksi tingkat
tinggi dan ulangi KBI.
Alasan:
KBI yang digunakan bersama dengan ergometrin dan oksitosin dapat membantu
membuat uterus-berkontraksi
9.
Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu sampai 2
menit, segera lakukan rujukan Berarti ini bukan atonia uteri sederhana. Ibu
membutuhkan perawatan gawat-darurat di fasilitas kesehatan yang dapat melakukan
tindakan pembedahan dan transfusi darah.
10. Dampingi
ibu ke tempat rujukan. Teruskan melakukan KBI hingga ibu tiba di tempat
rujukan. Teruskan pemberian cairan IV hingga ibu tiba di fasilitas rujukan:
1.
Infus 500 ml yang pertama dan habiskan dalam waktu 10
menit.
2.
Kemudian berikan 500 ml/jam hingga tiba di tempat
rujukan atau hingga jumlah cairan yang diinfuskan mencapai 1,5 liter, dan
kemudian berikan 125 ml/jam.
3.
Jika cairan IV tidak cukup, infuskan botol kedua berisi
500 ml cairan dengan tetesan lambat dan berikan cairan secara oral untuk asupan
cairan tambahan.
Teknik
KBE (Kompresi bimanual eksternal)
Letakkan satu tangan pada abdomen di depan uterus, tepat di atas
simfisis pubis.
Garnbar 2. Kompresi bimanual eksternal
1.
Letakkan tangan yang lain pada dinding abdomen
(dibelakang korpus uteri), usahakan memegang bagian belakang uterus seluas mungkin.
2.
Lakukan gerakan saling merapatkan kedua tangan untuk
melakukan kompresi pembuluh darah di dinding uterus dengan cara menekan uterus
di antara kedua tangan tersebut. (Pusdiknakes, Asuhan Persalinan Normal)
2.2.2 Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta
selama setengah jam setelah persalinan bayi. Pada beberapa kasus dapat terjadi
retensio plasenta berulang (habitual retentio plasenta). Plasenta harus
dikeluarkan karena dapat menimbulkan bahaya perdarahan, infeksi karena sebagai
benda mati, dapat terjadi plasenta inkar-serata, dapat terjadi polip plasenta,
dan terjadi degenerasi ganas korio karsinoma.
Dalam melakukan pengeluaran plasenta secara manual perlu
diperhatikan tekniknya sehingga tidak menimbulkan komplikasi seperti perforasi
dinding uterus, bahaya infeksi, dan dapat terjadi inversio uteri.
v
Retensio
plasenta dan plasenta manual
Plasenta manual merupakan tindakan
operasi kebidanan untuk melahirkan retensio plasenta. Teknik operasi plasenta
manual tidaklah sukar, tetapi harus dipikirkan bagaimana persiapan agar
tindakan tersebut dapat menyelamatkan jiwa penderita.
Kejadian retensio plasenta berkaitan dengan:
1.
Grandemultipara dengan implantasi plasenta dalam bentuk
plasenta adhesive, plasenta akreta, plasenta inkreta dan plasenta perkreta.
2.
Mengganggu kontraksi otot rahim dan menimbulkan
perdarahan.
3.
Retensio plasenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan:
§ Darah
penderita terlalu banyak hilang.
§ Keseimbangan
baru berbentuk bekuan darah. sehingga perdarahan tidak terjadi.
§ Kemungkinan
implantasi plasenta terlalu dalam.
4.
Plasenta manual dengan segera dilakukan:
§ Terdapat
riwayat perdarahan postpartum berulang.
§ Terjadi
perdarahan postpartum melebihi 400 cc.
§ Pada
pertolongan persalinan dengan narkosa.
§ Plasenta
belum lahir setelah menunggu selama setengah jam.
v Plasenta manual
Persiapan plasenta
manual:
§ Peralatan
sarung tangan steril.
§ Desinfektan
untuk genitalia eksterna.
Teknik:
§ Sebaiknya
dengan narkosa, untuk mengurangi sakit dan menghindari syok.
§ Tangan
kiri melebarkan genitalia eksterna, tangan kanan dimasukkan secara obsteris
sarnpai mencapai tepi plasenta dengan menelusuri tali pusat
§ Tepi
palsenta dilepaskan dengan bagian luar tangan kanan sedangkan tangan kiri
menahan fundus uteri sehingga tidak terdorong ke atas.
§ Setelah
seluruh plasenta dapat dilepaskan, maka tangan dikeluarkan bersama dengan
plasenta.
§ Dilakukan
eksplorasi untuk mencari sisa plasenta atau membrannya.
§ Kontraksi
uterus ditimbulkan dengan memberikan uterotonika.
§ Perdarahan
diobservasi.
Dalam melakukan rujukan penderita dilakukan persiapan dengan
memasang infus dan memberikan cairan dan dalam perjalanan diikuti oleh tenaga
yang dapat memberikan pertolongan darurat.
Komplikasi tindakan plasenta manual
Tindakan
plasenta manual dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut:
Terjadi
perforasi uterus.
·
Terjadi infeksi: terdapat sisa palsenta atau
membrane dan bakteria terdorong ke dalam rongga rahim.
·
Terjadi perdarahan karena atonia uteri.
Untuk
memperkecil komplikasi dapat dilakukan tindakan profilaksis dengan: memberikan
uterotonika intravena atau intramuscular
·
memasang tamponade uterovaginal
·
Memberikan antibiotika
·
memasang infus dan persiapan transfusi darah.
Skema tatalaksana retensio placenta
2.2.3 Inversio
Uteri
Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk ke
dalam kavum uteri, dapat secara mendadak atau terjadi perlahan. Selain dari
pada itu pertolongan persalinan yang makin banyak dilakukan tenaga terlatih
maka terjadi inversio uteri pun makin berkurang.
Kejadian inversio uteri sebagian besar disebabkan kurang
legeartisnya pertolongan persalinan saat melakukan persalinan plasenta secara
crede, dengan otot rahim belum berkontraksi dengan baik.
Untuk menegakkan kemungkinan terjadi inversio uteri dapat
dilakukan pemeriksaan palpasi pada fundus uteri yang menghilang dari abdomen
pada pemeriksaan dalam dapat dijumpai fundus uteri di kanalis servikalis bahkan
bersama dengan plasenta yang belum lepas.
Inversio uteri
ditandai dengan tanda-tanda:
· Syok karena kesakitan
· Perdarahan banyak
bergumpal
· Di vulva tampak
endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih melekat
·
Bila baru terjadi,
maka prognosis cukup baik akan tetapi bila kejadiannya cukup lama, maka jepitan
serviks yang mengecil akan membuat uterus mengalami iskemia, nekrosis, dan
infeksi.
Skema
tatalaksana inversio uteri
2.2.4 Perdarahan
Robekan Jalan Lahir
Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah
yang bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu
harus dievaluasi, yaitu sumber dan jumlah. Perdarahan sehingga dapat diatasi.
Sumber perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina, servik, dan robekan
uterus (rupture uteri). Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma dengan robekan
jalan lahir dengan perdarahan bersifat arteril atau pecahnya pembuluh darah
vena.
Perdarahan karena robekan jalan lahir banyak dijumpai para pertolongan
persalinan oleh dukun karena tampa dijahit. Pertolongan persalinan dengan
sesiko rendah mempunyai komplikasi ringan sehingga dapat menurunkan angka
kematian ibu maupun perinatal.
Sikap bidan
menghadapi perdarahan robekan jalan lahir
Gambar Beberapa jenis episiotomi, yang menggambarkan
otot lantai pelvis yang dilibat oleh masing-masing jenis. A. episiotomi median,
B, episiotomi lateral, C. episiotomi mediolateral, D, insisi Schruchardt.
Gambar Reparasi laserasi tingkat tiga (I). Sudut atas
luka vagina dipegang dengan benang traksi. Tepi luka dinding rektum anterior
kembali dengan jahitan submukosa. Benang yang kuat menarik puntung otot
sfingter ke arah depan dan menyatukannya di anterior deretan jahitan rektum.
Reparasi laserasi tingkat tiga (II). Jahitan dinding
rektum dan sfingter diikat. Otot lantai pelvis dibentuk dengan masing-masing
jahitan
Tahap penjahitan:
·
Ujung tepi robekan dipegang dengan elis klamp
dan diadaptasikan
·
Jahit robekan serviks secara simpul, sehingga
perdarahan berhenti secara sempurna.
·
Robekan servik dapat pula dipegang dengan
intestinum klamp dan selanjutnya dijahit secara simpul.
(Manuaba,1998)
2.2.5
Perdarahan karena Gangguan Pembekuan Darah
Kausal
HPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila penyebab yang lain
dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang sama
pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi perdarahan setiap
dilakukan penjahitan dan perdarahan akan erembes atau timbul hematoma pada bekas
jahitan, suntikan, perdarahan dari gusi, rongga hidung, dan lain-lain.
Pada
pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang
abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia,
terjadi hipofibrinogemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation
product) serta perpanjangan tes protombin dan PTT (partial tromboplastin time).
Faktor
predisposisinya adalah sebagai berikut:
1.
Regangan rahim
berlebihan karena kehamilan gemeli, polihidramnion, atau anak terlalu besar.
2. Kelelahan karena persalinan lama.
3. Kehamilan grande-multipara
4. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis,
atau menderita penyakit menahun.
5. Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim
6.
Infeksi intrauterine
(korioamnion)
7. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya
8. Jarak perasalinan
pendek kurang dari 2 tahun
9. Persalinan yang dilakukan dengan tindakan :
pertolongan kala uri sebelum waktunya, pertolongan persalinan oleh dukun,
persalinan dengan tindakan paksa persalinan dengan narkosa.
2.3 Tanda
dan gejala
Diagnosis ditegakkan setelah bayi dan plasenta
lahir tenyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi
didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang
lembek. Perlu diperhatikan pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat
itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh
darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam
kalkulasi pemberian darah pengganti.
2.4 Klasifikasi
Perdarahan postpartum dibagi menjadi perdarahan postpartum primer dan
sekunder :
1.
Perdarahan postpartum primer
Perdarahan
postpartum primer terjadi dalam 24 jam pertama, penyebab utamanya Perdarahan
postpartum primer adalah atonia uteri retensio plasenta, sisa plasenta dan
robekan jalan lahir. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2.
Perdarahan postpartum sekunder
Perdarahan
postpartum sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan
postpartum sekunder adalah robekan jalan lahir dan sisa plasenta atau membran.
(Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & KB, hal. 295).
2.5 Patofisiologi
Dalam persalinan
pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk meningkatkan sirkulasi ke sana,
atoni uteri dan subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun
sehingga pembuluh darah-pembuluh darah yang melebar tadi tidak menutup sempurna
sehingga perdarahan terjadi terus menerus. Trauma jalan lahir seperti epiostomi
yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri juga menyebabkan perdarahan
karena terbukanya pembuluh darah, penyakit darah pada ibu; misalnya
afibrinogemia atau hipofibrinogemia karena tidak ada atau kurangnya fibrin
untuk membantu proses pembekuan darah juga merupakan penyebab dari perdarahan
postpartum. Perdarahan yang sulit dihentikan bisa mendorong pada keadaan shock
hemoragik.
2.6 Komplikasi
Perdarahan postpartum
yang tidak ditangani dapat mengakibatkan:
1.
Syok
hemorragic
Akibat
terjadinya perdarahan, ibu akan mengalami syok dan menurunnya kesadaran akibat
banyaknya darah yang keluar. Hal ini menyebabkan gangguan sirkulasi darah ke
seluruh tubuh dan dapat menyebabkan hipovolemia berat. Apabila hal ini tidak
ditangani dengan cepat dan tepat, maka akan menyebabkan kerusakan atau nekrosis
tubulus renal dan selanjutnya merusak bagian korteks renal yang dipenuhi 90%
darah di ginjal. Bila hal ini terus terjadi maka akan menyebabkan ibu tidak
terselamatkan
2.
Anemia
Anemia terjadi akibat
banyaknya darah yang keluar dan menyebabkan perubahan hemostasis dalam darah,
juga termasuk hematokrit darah. Anemia dapat berlanjut menjadi masalah apabila
tidak ditangani, yaitu pusing dan tidak bergairah dan juga akan berdampak juga
pada asupan ASI bayi.
3.
Sindrom
Sheehan
Hal
ini terjadi karena, akibat jangka panjang dari perdarahan postpartum sampai
syok. Sindrom ini disebabkan karena hipovolemia yang dapat menyebabkan nekrosis
kelenjar hipofisis. Nekrosis kelenjar hipofisis dapat mempengaruhi sistem
endokrin.
2.7 Pencegahan
Klasifikasi kehamilan
resiko rendah dan resiko tinggi akan memudahkan penyelenggara pelayanan
kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat perawatan antenatal
dan melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana yang sesuai dan jenjang
rumah sakit rujukan. akan tetapi, pada saat proses persalinan, semua kehamilan
mempunyai resiko untuk terjadinya patologi persalinan, salah satunya adalah
perdarahan pascapersalinan. Antisipasi terhadap hal tersebut dapat dilakukan
sebagai berikut:
- Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keaadaan umum dan mengantisipasi setiap penyakit kronis, anemia, dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan persalinan pasien tersebut ada dalam keadaan optimal
- Mengenal faktor predisposisi PPP seperti multipritas, anak besar, hamil kembar, dan lainnya yang resikonya akan muncul saat persalinan
- Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama
- Kehamilan resiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan
- Kehamilan resiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan menghindari persalinan duku
- Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi PPP dan mengadakan rujukan sebagaimana mestinya
Perdarahan karena atonia uteri dapat
dicegah dengan:
·
Melakukan secara rutin
manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin karena hal ini
dapat menurunkan insiden perdarahan pascapersalinan akibat atonia uteri.
· Pemberian Misoprostol
peroral 2-3 tablet (400-600 mg) segera setelah bayi lahir.
2.8 Syok Obstetri
Syok Obstetri adalah keadaan syok pada kasus obstetric
yang kedalamannya tidak sesuai dengan perdarahan yang terjadi. Dapat dikatakan
bahwa syok yang terjadi karena kombinasi:
·
Akibat perdarahan
·
Akibat nyeri
Syok adalah ketidakseimbangan antara volume darah yang
beredar dan ketersediaan sistem vascular bed sehingga menyebabkan terjadinya:
1.
Hipotensi.
2.
Penurunan atau
pengurangan perfusi jaringan atau organ.
3.
Hipoksia sel.
4.
Perubahan metabolisme
aerob menjadi anaerob
Dengan demikian, dapat terjadi kompensasi peningkatan detak jantung akibat
menurunnya tekanan darah menuju jaringan.
Jika ketidak
seimbangan tersebut terus berlangsung, akan terjadi:
1.
Semakin menurunnya aliran O2 dan nutrisi munuju jaringan.
2.
Ketidak mampuan system sirkulasi untuk mengankut CO2 dan hasil
metabolism lainnya sehingga terjadi timbunan asam laktat dan asam piruvat di
jaringan tubuh dan menyebabkan asidosis metabolic.
3.
Rendahnya aliran O2 menuju jaringan akan menimbulkan metabolism
anaerob yang akan menghasilkan produk samping.
·
Timbunan asam laktat
·
Timbunan asam piruvat
Dampak gagalnya siklus Kreb adalah hipoksia sel yang terlalu lama yang
menyebabkan terjadinya kerusakan pada sistem enzim sel dan metabolisme sel.
2.9 Klasifikasi
Syok
2.9.1. Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik adalah suatu keadaan
akut dimana tubuh kehilangan cairan tubuh, cairan ini dapat berupa darah,
plasma, dan elektrolit (Grace, 2006). Syok hipovolemik adalah suatu keadaan
dimana terjadi kehilangan cairan tubuh dengan cepat sehingga dapat
mengakibatkan multiple organ failure akibat perfusi yang tidak adekuat.
2.9.1.1 Syok karena perdarahan
a) Perdarahan
karena abortus
b) Perdarahan
antepartum
c) Perdarahan
post partum
d) Perdarahan
akibat trauma jalan lahir
e) Perdarahan
pada rupture serviks
f) Perdarahan
robekan vagina
g) Perdarahan
rupture uteri
h) Perdarahan
operasi obstetric
2.9.1.2 Syok akibat kehilangan cairan
a) Hiperemesis
gravidarum
b) Diare
c) Pemakaian
obat diuretic
2.9.1.3 Supine hypotensive syndrome
a)
Syok
yang berkaitan dengan kompresi uterus pada vena cava inferior sehingga aliran darah
yang menuju atrium kanan berkurang
2.9.1.4
Syok berkaitan dengan
disseminated intravascular coagulation.
b) Emboli air ketuban
c) Syok karena terdapat IUF dead
2.9.2. Syok Sepsis ( endatoxin syok)
Syok Sepsis adalah kondisi medis yang
ditandai dengan tekanan darah rendah berbahaya yang terjadi akibat infeksi
bakteri berat di dalam darah. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai jenis
bakteri dan pada kasus-kasus jarang, mungkin disebabkan oleh jamur atau virus.
Sejumlah besar racun yang dilepaskan bakteri ke dalam aliran darah menyebabkan
peradangan dan darah menggumpal, menyebabkan kerusakan jaringan dan fungsi
organ yang buruk. Hal ini merupakan kondisi yang mengancam jiwa yang memerlukan
perhatian medis segera karena hal ini dapat secara cepat menyebabkan henti
nafas dan gagal jantung.
Komplikasi
yang paling sering berkaitan dengan syok sepsis:
a) Abortus
infeksius
b) Korioamnionitis
c) Pielinefritis
d) Endometritis
post partum
2.9.3. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik
ini didasarkan pada sebuah sirkulasi darah yang tidak memadai akibat kegagalan
primer dari ventrikel jantung untuk berfungsi secara efektif. Karena ini adalah
kategori shock ada cukup perfusi jaringan (yaitu hati) untuk memenuhi
permintaan yang diperlukan untuk oksigen dan nutrisi. Hal ini menyebabkan
kematian sel dari kekurangan oksigen (hipoksia) dan kelaparan gizi (misalnya
hipoglikemia). Karena ini dapat menyebabkan serangan jantung (atau penangkapan
peredaran darah) yang merupakan penghentian akut fungsi pompa jantung.
2.9.4. Syok Neurogenik
Syok Neurogenik adalah kondisi
medis yang ditandai dengan ketidakcukupan aliran darah ke tubuh yang disebabkan
karena gangguan sistem saraf yang mengendalikan konstriksi dari
pembuluh-pembuluh darah. Gangguan ini menyebabkan kehilangan sinyal saraf
tiba-tiba, yang menyebabkan terjadinya relaksasi dan pelebaran
pembuluh-pembuluh darah. Oleh karena itu, lebih banyak darah terakumulasi pada
sistem vena daripada mengalir kembali ke jantung, yang oleh karenanya menurunkan
jumlah darah yang dipompakan keluar dari jantung dan menyebabkan tekanan darah
rendah. Hal ini merupakan kondisi yang mengancam jiwa yang biasanya terjadi
setelah suatu jejas pada sumsum tulang belakang dan penanganan medis segera
diperlukan untuk mencegah kematian.
Penyebab syok neurogenik:
a)
Akibat zat kimia – aspirasi dari cairan atau isi
lambung
b)
Akibat obat-obatan – anastesi spinal
c)
Inversion uteri – kolaps vasomotor
d)
Gangguan elektrolit – hiponatremia – kekurangan ion Na
2.9.5 Syok Anafilaktik
Syok anafilaktik yaitu syok yang
sering terjadi akibat alergi /hipersensitif terhadap obat-obatan. Penyebab syok
yang lain seperti emboli air ketuban, udara atau thrombus, komplikasi anastesi
dan kombinasi seperti pada abortus inkompletus (hemoragik dan ensotoksin) dan
kehamilan ektopik terganggu dan rupture uteri (hemoragik dan neurogenik).
2.10. Etiologi
2.10.1. Pendarahan
2.10.2. Abortus
2.10.3. Infeksi berat
2.10.4. Solusio Plasenta
2.10.5. Luka jalan lahir
2.10.6. Emboli air ketuban
2.10.7. Inversio uteri
2.10.8. Fakta predisposisi timbulnya syok
2.11. Penanganan Syok
2.11.1 Prinip Dasar Penanganan Syok
1.
Tujuan utama
pengobatan syok adalah melaku kan penanganan awal dan khusus untuk:
·
Menstabilkan kondisi
pasien
·
Memperbaiki volume
cairan sirkulasi darah
·
Mengefisiensikan
system sirkulasi darah
2.
Setelah pasien stabil
tentukkan penyebab syok
Penangana Awal
1.
Mintalah bantuan.
Segera mobilisasi seluruh tenaga yang ada dan siapkan fasilitas tindakan gawat
darurat
2.
Lakukan pemeriksaan
secara cepat keadaan umum ibu dan harus dipastikan bahwa jalan napas bebas.
3.
Pantau tanda-tanda
vital (nadi, tekanan darah, pernapasan dan suhu tubuh)
4.
Baringkan ibu tersebut
dalam posisi miring untuk meminimalkan risiko terjadinya aspirasi jika ia
muntah dan untuk memeastikan jalan napasnya terbuka.
5.
Jagalah ibu tersebut
tetap hangat tetapi jangan terlalu panas karena hal ini akan menambah sirkulasi
perifernya dan mengurangi aliran darah ke organ vitalnya.
6.
Naikan kaki untuk
menambah jumlah darah yang kembali ke jantung (jika memungkinkan tinggikan
tempat tidur pada bagian kaki).
Penanganan Khusus
1.
Mulailah infus intra
vena (2 jika memungkinkan dengan menggunakan kanula atau jarum terbesar (no. 6
ukuran terbesar yang tersedia). Darah diambil sebelum pemberian cairan infus
untuk pemeriksaan golongan darah dan uji kecocockan (cross match), pemeriksaan
hemoglobin, dan hematokrit. Jika memungkinkan pemeriksaan darah lengkap
termasuk trombosit, ureum, kreatinin, pH darah dan elektrolit, faal hemostasis,
dan uji pembekuan.
·
Segera berikan cairan
infus (garam fisiologk atau Ringer laktat) awalnya dengan kecepatan 1 liter
dalam 15-20 menit
Catatan: Hindari penggunaan
pengganti plasma (seperti dekstran). Belum terdapat bukti bahwa pengganti
plasma lebih baik jika dibandingkan dengan garam fisiologik pada resusitasi ib
yag mengalami syok dan dekstran dalam jumlah banyak dapat berbahaya.
·
Berikan paling sedikit
2 Liter cairan ini pada 1 jam pertama. Jumlah ini melebihi cairan yang
dibutuhkan untuk mengganti kehilangan cairan yang sedang berjalan
·
Setelah kehilangan
cairan dikoreksi, pemberian cairan infuse dipertahankan dalam kecepatan 1 liter
per 6-8 jam
·
Catatan: Infus dengan
kecepatan yang lebih tinggi mungkin dibutuhkan dalam penatalaksanaan syok
akibat perdarahan. Usahakan untuk mengganti 2-3 kali lipat jumlah cairan yang
diperkirakan hilang.
1.
Jika vena perifer
tidak dapat dikanulasi, lekukakan venous cut-down
2.
Pantau terus
tanda-tanda vital (setiap 15 menit) dan darah yang hilang. Apabila kondisi
pasien membaik, hati-hati agar tidak berlebihan memberikan cairan. Napas pendek
dan pipi yang bengkak merupakan kemungkinan tanda kelebihan pemberian cairan.
3.
Lakukan kateterisasi
kandung kemih dan pantau cairan yang masuk dan jumlah urin yang keluar.
Produksi urin harus diukur dan dicatat.
4.
Berikan oksigen dengan
kecepatan 6-8 liter per menit dengan sungkup atau kanula hidung.
2.12 Penentuan dan penangan penyebab syok
Tentukan penyebab syok
setelah ibu tersebut stabil keadaannya
Syok Perdarahan
Jika perdarahan hebat
dicurigai sebagai penyebab syok:
1.
Ambil langkah-langkah
secara berurutan untuk menghentikan perdarahan (seperti oksitosin, masasse
uterus, kompresi bimanual, kompresi aorta, persiapan untuk tindakan
pembedahan).
2.
Transfusi sesegera
mungkin untuk mengganti kehilangan darah. Pada kasus syok karena perdarahan,
transfusi dubutuhkan jika Hb <8 g%. Biasanya darah yang diberikan ialah
darah segar yang baru diambil dari donor darah.
3.
Tentukan penyebab
perdarahan dan tata laksana:
·
Jika perdarahan
terjadi pada 22 minggu pertama kehamilan, curigai abortus, kehamilan ektopik
atau mola
·
Jika perdarahan terjadi setelah 22 minggu atau pada saat persalinan tetapi
sebelum melahirkan, curigai plasenta previa, solusio plasenta atau robekan
dinding uterus (rupture uteri).
·
Jika perdarahan
terjadi setelah melahirkan, curigai robekan dinding uterus, atonia uteri,
robekan jalan lahir, plasenta tertinggal.
1.
Nilai ulang keadaan
ibu: dalam waktu 20-30 mnit setelah pemberian cairan, nilai ulang keadaan ibu
tersebut untuk melihat tanda-tanda perbaikan.
2.
Tanda-tanda bahwa
kondisi pasien sudah stbil atau ada perbaikan sebagai berikut:
·
Tekanan darah mulai
naik, sistolik mencapai 100 mmHg
·
denyut jantung stabil
·
Kondisi mental pasien
membaik, ekspresi ketakutan berkurang
·
Produksi urin
bertambah. Diharapkan produksi urin paling sedikit 100 ml/4 jam atau 30 ml/jam
Syok Septik
1.
Jika infeksi dicurigai
menjadi penyebab syok:
·
Ambil sampel
secukupnya darah, urin, pus, untuk kultur mikroba sebelum memulai terapi
antibiotika, jika fasilitas memungkinkan.
·
Penyebab utama syok
septic (70% kasus) ialah bakteri gram negative seperti Esckherisia koli,
Klebsiella pnemoniae, Serratia, Enterobakter, dan Psedomonas.
·
Antibiotika harus
diperhatikan apabila diduga atau terdapat infeksi, misalnya pada kasusu sepsis,
syok septic, cedera intraabdominal, dan perforasi uterus.
Catatan: Jangan
diberikan antibiotika melalui mulut pada ibu yang sedang syok.
·
Untuk kebanyakan kasus
dipilih antibiotika berspektrum luas yang efektif terhadap kuman gram negative,
gram postif, anerobik, dan klamidia. Antibiotika harus diberikan dalam bentuk
kombinasi agar diperoleh cakupan yang luas.
·
Berikan kombinasi antibiotika
untuk mengobati infeksi aerob dan anaerob dan teruskan sampai ibu tersebt bebas
demam selama 48 jam.
o Penisillin g 2 juta unit ata ampisilin 2 g I. V setiap
6 jam.
o Ditambah gentamisin 5 mg/kg BB I.V setiap 24 jam.
o Ditambah metronidazol 500 mg I. V. setiap 8 jam.
·
Nilai ulang keadaan ibu
tersebut untuk menilai adanya tanda-tanda perbaikan.
1.
Jika trauma dicurigai
sebagai penyabab syok, lakukan prasiapan untuk tindakan pembedahan.
2.
Perubahan kondisi
sepsis sulit diperkirakan, dalam waktu singkat dapat memburuk
3.
Tanda-tanda bahwa
kondisi pasin sudah stabil atau ada perbaikan adalah
·
Tekanan darah mulai
naik, sistolik mencapai 100 mmhg
·
Denyut jantung stabil
·
Kondisi maternal
membaik, ekspresi ketakutan berkurang
·
Produki urin
bertambah.Diharapka produksi urin paling sedikit 100 ml/4 jam atau 30 ml/jam.
Penilaian Ulang
1.
Nilai ulang respon ibu
tehadap pemeriksaan varian dalam waktu 30 mneit untuk menentukkan apakah
kondisinya membaik. Tanda-tanda perbaikkan meliputi:
·
nadi yang stabil (90
menit atau kurang)
·
Peningkatan tekanan
darah (sistolik 00 mmHg atau lebih)
·
Perbaikan tatus mental
(brkurangnya kebingungan dan kegelisahan)
·
meningkatnya jumlah
urin (30 ml pr jam atau lebih)
2.
Jika kondisi ibu
tersebut membaik
· Sesuaikan kecepatan
infuse menajdai 1 liter dalam 6 jam
· Teruskan
penatalaksanaan untuk penyebab syok
3. Jika kondisi ibu
tersebut tidak membaik, berarti ia membutuhkan penanganan selanjutnya.
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Perdarahan postpartum atau perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan
lebih dari 500 – 600 ml selama 24 jam setelah anak lahir. Perdarahan postpartum
adalah perdarahan dalam kala IV lebih dari 500 – 600 cc dalam 24 jam setelah
anak dan plasenta lahir.
Penyebabnya seperti Atonia uteri, laserasi jalan lahir,
retensio plasenta, kelainan proses pembekuan darah.
Syok Obstetri adalah keadaan syok pada kasus
obstetric yang kedalamannya tidak sesuai dengan perdarahan yang terjadi. Dapat
dikatakan bahwa syok yang terjadi karena kombinasi:
·
Akibat perdarahan
·
Akibat nyeri
Syok adalah ketidakseimbangan antara volume darah yang
beredar dan ketersediaan sistem vascular bed sehingga menyebabkan terjadinya:
1.
Hipotensi.
2.
Penurunan atau
pengurangan perfusi jaringan atau organ.
3.
Hipoksia sel.
4.
Perubahan metabolisme
aerob menjadi anaerob
DAFTAR
PUSTAKA
Prawiroharjo
Sarwono. Ilmu Kebidanan.P.T Bina
Pustaka Sarwono Prawiroharjo.Jakarta.2009
Buku Panduan Praktis Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal, Saifuddin AB(ed).,
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. JNPKKR-POGI, Jakarta 2002:M-25-32
Widodo D, Pohan HT
(editor). Bunga rampai penyakit infeksi.
Jakarta: 2004; h.54-88.
Bochud PY, Calandra T. Pathogenesis of sepsis: new concepts and implication for future
treatment. BMJ 2003;325:262-266. Available at: http://www.bmj.com
Nelwan RHH. Patofisiologi dan deteksi dini sepsis.
Dalam: Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2003. Jakarta: 2003; h.
S15-18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar